TUNDUK DITINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN SEBAB DIAM ADALAH PENGKHIANATAN
Photobucket   Photobucket   Photobucket

22 Februari 2011

INDAHNYA KEDAMAIAN

Pendahuluan
konflik dan kekerasan masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia, karena adanya berbagai ketidakadilan ekonomi, politik, dan sosial. Mewujudkan perdamaian di antara pihak-pihak terlibat konflik bukanlah pekerjaan mudah. Perdamaian tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik, jika pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mendapat solusi yang saling menguntungkan. Perdamaian tidak dapat diwujudkan dengan perang, dan hanya dapat dicapai dengan dialog dan kompromi.
Perdamaian memegang peranan penting dalam upaya membangun suatu bangsa. Tidak ada satu bangsa pun di dunia ini yang dapat membangun negaranya dengan baik dalam situasi konflik, baik horizontal maupun vertikal.
Perdamaian penting diupayakan untuk memberikan rasa aman. Rasa aman dapat menimbulkan spirit dan kondisi positif untuk melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang; ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Tidak mungkin membangun ekonomi suatu bangsa dengan baik, jika warga berada dalam suasana ketakutan apalagi disebabkan karena konflik di dalam masyarakat, padahal pembangunan  ekonomi, pembangunan kesejahteraan, sangat menentukan  pembangunan sektor lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, politik, dan hukum demi meraih kesejahteraan bangsa secara keseluruhan.
Damai itu indah. Damai itu menyejukkan. Semua orang merindukannya. Selaku umat beragama. Apapun agama yang dianutnya selalu mendoakan agar orang lain berada dalam kedamaian melalui ucapan salam. Tidak ada seorang pun menyukai konflik. Karena konflik menimbulkan penderitaan, ketidakamanan, bahkan makan korban jiwa, dan harta. Karena itu menciptakan perdamaian adalah suatu keharusan betapapun sulitnya apapun kendalanya dan berapapun ongkosnya.

Merangkai Indonesia Bebas Dari Konflik.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia masih mengalami konflik, baik vertikal maupun horizontal. Konflik horizontal di Maluku dan Poso terjadi beberapa tahun yang lalu. Konflik vertikal di Aceh telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Hampir di setiap daerah, kita sering menyaksikan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan ketidakharmonisan. Kondisi ini tentu saja menjadi salah satu masalah yang akan mengganggu agenda bangsa.
Frekuensi konflik berdimensi kekerasan yang terlalu sering terjadi, tidak jarang membuat kita bertanya-tanya, ada apa dengan masyarakat kita? Mengapa sekelompok orang begitu mudah terpancing atau terdorong melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang sangat sering berujung kepada hilangnya nyawa saudara-saudaranya sendiri sebangsa. Kegagalan-kegagalan menciptakan perdamaian yang langgeng menyebabkan munculnya pesimisme dan perilaku pasrah pada keadaan, karena perdamaian abadi dianggap merupakan sebuah mimpi belaka. Konflik bahkan dianggap sebagai sesuatu yang mesti terjadi dalam masyarakat heterogen. Kalau demikian halnya, mengapa kita masih terus mencoba tidak kehabisan akal untuk mencari cara dalam mengupayakan. terciptanya perdamaian bagi diri, keluarga, kelompok, bangsa, serta perdamaian global?
Salah satu jawabannya adalah bahwa selain kodrat manusia yang berbeda-beda dan bertentangan berdasarkan suku, bangsa, ras, agama, dan perbedaan kelompok-kelompok secara primordial maupun pertentangan kepentingan politik dan ideologi, maka merupakan kodrat/naluri (instinct) manusia pula untuk mempertahankan jenisnya agar tidak mengalami kemusnahan total oleh saling menghancurkan dan memusnahkan. Naluri manusia untuk bertahan hidup membuatnya selalu berusaha mencari jalan ke luar yang membebaskan dirinya dari perangkap saling menghancurkan satu sama lainnya dalam kehidupan kolektif. Hal itulah kemudian yang mendorong manusia menciptakan tempat pernaungan yang disebut Negara-Bangsa (Nation-State).
Kekerasan adalah produk rasional, demikian filosof klasik Thomas Hobbes meyakininya. Karena kekerasan digunakan sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan oleh kelompok-kelompok sosial yang berkontestasi atas sumber daya dan identitas dalam masyarakat.
Jika merujuk pada filsafat Hobbes ini, kekerasan pada gilirannya merupakan pilihan rasional yang disimpan sebagai pengetahuan dalam struktur kesadaran manusia dan kelompoknya sehingga pilihan rasional ini dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuan apa yang terlembaga melalui sosio-historis dalam bentuk praktik-praktik intensif dalam lingkungan sosial masyarakat.
Inilah mengapa sosok Gus Dur (alm) bekerja keras menciptakan proses sosial historis yang menciptakan pengalaman-pengalaman nirkekerasan dengan mempraktikkan terus-menerus dialog damai lintas identitas dan kepentingan. Agar manusia Indonesia mengakumulasi pengalaman praktik-praktik dialog damai sebagai pengetahuan dalam struktur kesadarannya. Dampak jangka panjang yang ingin diperoleh adalah karakter negara bangsa yang menjadikan praktik perdamaian sebagai cara mencapai tujuan.
Usaha menciptakan struktur kesadaran nirkekerasan Gus Dur, baik melalui wacana maupun tindakan politiknya, merupakan warisan dalam pembangunan karakter negara bangsa. Karakter bangsa yang mampu mempraktikkan perdamaian dalam upaya mengatasi kontestasi dan kontradiksi kepentingan dan identitas. Praktik perdamaian muncul dalam bentuk tindakan dialogis dan negosiatif sehingga bisa berproses dalam upaya mengatasi kontradiksi dari dimensi-dimensi konflik kepentingan dan identitas tanpa melukai orang lain.
Lebih dalam lagi, sesungguhnya substansi dari praktik perdamaian dalam hubungan konflik di ruang publik dan politik adalah kualitas pemecahan masalah. Meminjam istilah Johan Galtung (2004), praktik perdamaian tersebut adalah metode transendental (transcend approach), yaitu kemampuan sosial individu keluar dari halangan-halangan internalnya dan menciptakan peluang-peluang baru yang tidak saja menguntungkan diri sendiri, tetapi juga orang lain yang terlibat hubungan kontestasi atau konflik kepentingan. Halangan-halangan internal tersebut terutama sekali muncul dalam bentuk keterbatasan mendefinisikan masalah dan persepsi negatif terhadap pihak lain.
Jika saja praktik perdamaian yang mengutamakan dialog nirkekerasan telah menjadi karakter negara bangsa, kehidupan sosial dan politik secara dinamis akan selalu menuju pada common bonum (kemaslahatan umat). Sebab, masyarakat memilih melakukan dialog untuk menemukan permasalahan substansial dan merumuskan pemecahan masalah secara arif. Fenomena menggembirakan negeri ini, praktik kekerasan lintas identitas semakin berkurang sejak eskalasi konflik kekerasan identitas seperti di Ambon, Poso, dan Kalimantan pada 1999–2003.
Namun kekerasan lebih banyak direproduksi oleh kelompok teroris yang secara sosiologis tidak menjadi bagian dari masyarakat. Selain kelompok teroris, praktik kekerasan kenyataannya masih direproduksi oleh elite-elite politik negeri ini. Lihat saja pada kasus praktik komunikasi kekerasan beberapa anggota Pansus Skandal Bank Century di gedung perwakilan rakyat beberapa waktu lalu. Pericles (dalam David Held, 2003) seorang negarawan dan filosof negara kota Athena menyebut syarat bagi dewan rakyat agar mampu mencapai pemecahan masalah adalah isegoria, yaitu komunikasi politik yang bebas namun bijak dan berkualitas untuk kebaikan.
Oleh karenanya isegoria bisa diartikan sebagai komunikasi nirkekerasan, atau bagian dari praktik perdamaian yang menekankan pada dialog untuk menemukan kesaling pahaman mengenai permasalahan sehingga bisa dirumuskan formulasi pemecahannya. Namun yang terjadi di sidang Pansus beberapa waktu lalu adalah praktik kekerasan yang menghambat dan mengaburkan substansi permasalahan. Lantas bagaimana bisa mencapai kemaslahatan umat di Indonesia jika para elite politik tidak menciptakan praktik perdamaian? Para elite politik adalah representasi dari negara karena merekalah yang mengelola dan melaksanakan wewenang Negara

Paradigma Alternatif
    Pembangunan bangsa bertujuan untuk meraih ketenangan lahir batin, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Semua orang seharusnya memahami  pentingnya arti perdamaian karena hal itu merupakan syarat utama dalam pembangunan suatu bangsa. Apapun bentuk konflik, betapa pun sulitnya dan berapa pun ongkosnya, perdamaian harus tetap diperjuangkan dengan sekuat tenaga agar bangsa dapat mencapai kesejahteraan.
    Kita menyadari bahwa tidak ada satu metode baku untuk mewujudkan perdamaian, maka perdamaian yang telah dicapai wajib dipelihara. Diperlukan pula beberapa upaya secara simultan dan kontinu demi memelihara perdamaian antara lain:
1.    Memelihara Hubungan Baik dengan Tokoh-tokoh Konflik
Pengalaman konflik di beberapa daerah atau wilayah membuktikan bahwa masih ada pihak-pihak yang trauma setelah berlangsungnya konflik. Masih muncul di tengah masyarakat prasangka dan kecurigaan; terutama mereka yang pernah terlibat konflik. Melalui para tokoh, pamong, atau sesepuh masyarakat ini, perlu terus dijalin hubungan baik sebagai upaya silaturahim. Misalnya, dengan cara mendengar atau membicarakan bersama keinginan masyarakat melalui tokoh-tokoh ini untuk dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dan kemampuan pemerintah
2.    Memelihara Martabat
Dalam setiap konflik pada dasarnya tidak pernah ada pihak yang menang. Masyarakat dirugikan karena harta dan korban jiwa telah hilang. Untuk mengatasinya, dalam perundingan perdamaian diupayakan tidak ada pihak yang dipermalukan. Mengutamakan harga diri orang (dignity), apalagi jika yang hadir dalam perundingan tersebut adalah tokoh-tokoh utama. Pada dasarnya, dalam situasi apapun tidak pernah ada orang ingin dipermalukan di depan umum. Apabila ini bisa diatasi, kita harus terus-menerus menjaga dan membuat orang agar memiliki harkat dan martabat. Ini menjadi kekuatan kunci, baik dalam melahirkan perdamaian maupun memelihara perdamaian.
3.    Saling Percaya dan Taat pada Kesepakatan
Saling mempercayai (mutual trust) merupakan kunci utama dalam pergaulan dan perdamaian. Walaupun demikian tetap diperlukan aturan hukum sebagai alat yang dibutuhkan untuk mengikat kesepakatan yang telah dibuat. Untuk membuat kesepakatan kita perlu menemukan lawan (bukan kawan) yang paling keras, karena mereka paling berpengaruh dalam mewujudkan kesepakatan dan memelihara perdamaian. Setelah itu diperlukan pemeliharaan komitmen bersama untuk menjaga kesepakatan yang telah dicapai.
4.    Mencegah Timbulnya Masalah Baru
Nilai kemanusiaan yang universal adalah hidup damai dengan sesama karena saling membutuhkan. Perdamaian terwujud karena kedua belah pihak telah saling memaafkan. Perdamaian di masa depan harus menjadi milik bersama, dan untuk memeliharanya pun harus bersama-sama pula. Semua pihak harus mempunyai komitmen dan tanggung jawab bersama untuk memelihara perdamaian agar situasi dan kondisi di masa depan semakin baik. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan sebagai fasilitator dan selalu mengawasi untuk mencegah timbulnya konflik baru.
5.    Pemerataan Kesejahteraan
Kita juga menyadari bahwa perdamaian dapat berlangsung dengan baik, apabila suatu negara mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kemajuan semua pihak. Kemajuan selalu hanya dapat diwujudkan apabila ekonomi suatu negara berkembang dengan baik.
Setiap bangsa di dunia perlu mengupayakan dan memelihara perdamaian. Perdamaian tidak hanya ditentukan oleh bangsa itu sendiri namun membutuhkan bantuan negara lain. Oleh karena itu perdamaian menjadi tanggung jawab semua negara. Ke depan, agar pembangunan bangsa dapat terwujud dengan baik, kita semua harus ikut serta dalam mewujudkan perdamaian di dunia.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
>