TUNDUK DITINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN SEBAB DIAM ADALAH PENGKHIANATAN
Photobucket   Photobucket   Photobucket

23 Oktober 2011

AKAL DAN WAHYU SERTA FUNGSI


I.    PENDAHULUAN

         Agama Islam adalah menghormati akal. Karena tidak akan tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu adalah Islam agama ilmu dan akal.
         Sebelum Islam mengajak pemeluknya mencapai segala keperluan yang berhubungan dengan dunia, lebih dahulu diajak supaya mempergunakan segenap daya upaya bagi membersihkan akal; dalam faham, jitu fikiran dan jauh pandangan. Diketahui laba rugi suatu pekerjaan sebelum masuk kepadanya, ditelungkup ditelentangkan. Berjalan menghadap surut, berkata sepatah difikirkan. Berlayar menghadang pulau, berjalan menghadang batas. Kaki teracung inai obatnya, mulut terlanjur emas dendanya. Sehingga pekerjaan yang dikerjakan membuahkan kebenaran, keadilan ,berfaedah dan timbul dari rasa wajib. Disuruh mereka menyelidiki suatu dari segi mudaratnya sebelum manfa’atnya,didahulukan menolak kerusakan sebelum mengharap maslahat. Disuruh menyelidiki dan menilik alam dengan penuh pengalaman

II. RUMUSAN MASALAH

         Begitu juga dalam ajaran agama, ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan jalan akal dan dengan jalan wahyu. Untuk memahami kadua masalah itu, harus terlebih dahulu diketahui pengertian keduanya. Maka dalam makalah Materi  Pendidikan Agama Islam ini penyusun mencoba menjabarkan tentang akal dan wahyu serta fungsinya. Walaupun kami sadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini sehingga kami  belum bisa mengcover semuanya untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Namun demikian dengan adanya kekurangan yang ada pada pembahasan ini penyusun berharap kepada pembaca untuk dapat memberikan saran maupun kritiknya yang membangun, demi menambah wawasan dan pengetahuan bagi pribadi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
III. PEMBAHASAN
AKAL DAN WAHYU SERTA  FUNGSINYA
         Dalam pandangan para filosuf Islam. Akal merupakan daya berfikir yang terdapat dalam diri manusia. Pengertianya sama dengan nous yang ada dalam filsafat Yunani. Bahkan, dalam Ayat-ayat Al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa akal merupakan daya pikir yang berpusat di kepala; malahan sama dengan kalbu yang berpuat didada. Pengertian akal seperti ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan kaum teolog, sebagaimana yang dikemukakan Mu’tazilah. Ada juga yang menambahkan bahwa akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat manusia mampu membedakan suatu benda dari benda lainnya.
            Adapun wahyu, secara etimologis mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Kata wahyu lebih popular dikenal dalam pengertian apa yang di wahyukan Allah kepada Nabi pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Dalam Islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul dalam Al-Qur’an.
         Akal, sebagai daya piker yang ada didalam diri manusia,berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan. Sedangklan wahyu sebagai pengkabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban – kewajiban manusia terhadap-Nya. Persoalanya sekarang, sampai sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Sampai dimanakah fungsi wahyu dalam kedua hal ini?
Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubugkan dengan dua masalah pokok diatas, masing-masing bercabang dua, Pertama: masalah mengetahui; Tuhan, melahirkan dua masalah, yaitu mengetahiu Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan .Kedua; masalah baik dan jahat, melahirkan dua masalah , yaitu mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengetahui baik dan jahat.
Dari empat masalah itu, terjadi polemik di kalangan aliran kalam: Manakah dari keempat masalah tersebut yang diperoleh melalui wahyu?
Menurut Mu’tazillah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, kewajiban–kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal , demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Dalam hal ini Abu Al-Hudzail menegaskan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika tidak berterima kasih kepadan-Nya, ia akan mendapat siksa .Baik dan jahat, menurutnya, juga dapat diketahui akal; pula orang wajib mengerjakan yang baik, misalnya bersifat adil; dan wajib menjauhi yang buruk ,seperti berdusta dan berbuat zalim.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik  dan menjauhi yang buruk dapat diketahui akal .sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu mengerjakan hakekat hal itu .tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Mnurut Mu’tazilah ,jika keempat masalah itu dapat diketahui dengan akal, maka apa fungsi wahyu bagi keempat masalah itu? Menurut Abu Hasyim, untuk mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa; untuk mengetahui cara beribadah kepada tuhan wahyu diperlukan.”Akal” lanjutnya, “betul dapat mengetaahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat mengabdi kepada Tuhan.”
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar  mengatakan bahwa akal tidak dapat  mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui perincianya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun mengenai hidup di dunia. Jadi menurut mu’tazilah, tidak semua yang buruk dapat diketahui akal. Untuk mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Singkatnya, wahyu menyempurnakan pengetahuan tentang baik  dan buruk.
 Selanjutnya, wahyu bagi mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat. Abd Al-Jabbar mengatakan, akal tidak dapat mengetahui bahwa pahala untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuataan baik yang lain. Demikaian pula akal tidak mengetahui bahwa siksa bagi suatu perbuatan buruk lebih besar dari pada siksa untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui melalui wahyu. Menurut Al-Jubbai, wahyulah yang menjelaskan perincian pahala dan siksa yang akan diperoleh manusia di akhirat. Al-Khayat menambahkan, “ Fungsi wahyu ( dikirim melalui para Rosul ) berfungsi untuk menguji manusia apakah ia patuh kepada tuhanya atau  menentang kepada-Nya.
Jadi, menurut mu’tazilah, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi. Maksudnya wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal  dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh akal.
Menurut Asy’ariah, sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri,segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengatahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan, dan berterima kasihlah kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa, dengan demikian, akal, menurut Al-Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan karena itulah, diperlukan wahyu.
Menurut Al-Asahrastani, (berpaham Asy’ariah) kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa megferjakan baik dan menjahui keburukan itu wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi wajib, tetapi wahyulah yang menentukanya. Ia juga sependapat dengan Al-Asy’ari tetang mengetahui Tuhan dan kewajiban manusia berterima kasih kepada-Nya. Mengenai soal baik dan buruk (jahat) karena yang dimaksud baik adalah perbuatan yang mendatangkan pujian syariat bagi pelakunya. Dan yang dimaksud jahat adalah perbuatan yang membawa celaan syariat bagi pelakunya. Karena pujian dan celaan syariat hanya dapat diketahui melalui wahyu, maka baik dan buruk tidak dapat diketahui akal.karena itu pula, kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjahui keburukan dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Al- Baghdadi (pemuka Asy’ariah) juga berpendapat sama dengan Al-Asy’ari. Menurutnya, jika sebelum wahyu turun seseorang dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, kemudian percaya kepada-Nya, maka orang seperti itu adalah mukmin; ia tidak berhak mendapat upah dari Tuhan. Jika orang itu dimasukkan ke Surga, itu atas kemurahan Tuhan. Sebaliknya jika sebelum turun wahyu seseorang tidak percaya kepada Tuhan, maka ia kafir dan ateis, tetapi tidak mesti mendapat siksa.sekiranya Tuhan memasukkannya ke neraka untuk selama-selamanya, itu bukan merupakan siksa.
Al-Ghozali juga berpendapat sama seperti tokoh-tokoh Asy’ariah lainya, bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban–kewajiban bagi manusia. Kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjahui yang buruk dapat diketahui melalui wahyu. Paham ini, bagi Al-Ghozali, erat kaitanya dengan definisi baik dan buruk. Menurut Al-Ghozali, kata wajib merupakan sifat bagi perbuatan, dan suatu perbuatan sebenarnya bersifat wajib; jika tidak dilakukan akan menimbulkan kemudaratan bagi manusia. Hal ini hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Menurut Abu Uzbah, Al-Muturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. kematangan akallah, menurutnya yang menentukan kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, bukan tercapainya usia dewasa oleh anak. ia juga beranggapan bahwa akal manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,karena Dia pemberi nikmat yang besar. Dalam pandangan Al-Muturidi, selain mampu mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui-Nya dan berterima kasih kepada-Nya, juga mampu mengetahui baik dan buruk.
Menurut Abduh, Maturidiah dan Mu’tazilah sependapat bahwa perintah dan larangan erat kaitanya dengan sifat dasar suatu perbuatan, dengan kata lain, pahala dan siksa bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kata Al-Muturidi akal mengetahui sifat baik yang ada dalam perbuatan baik dan sifat buruk yang ada dalam perbuatan buruk.



IV. KESIMPULAN
         Akal dalam filsafat Yunani sama dengan nous yang artinya daya berfikir yang terdapat dalam diri manusia. Ada juga yang menambahkan bahwa akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat manusia mampu membedakan suatu benda dari benda lainnya. Adapun wahyu, secara etimologis mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. wahyu lebih popular dikenal dalam pengertian apa yang di wahyukan Allah kepada Nabi pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup.
Menurut Mu’tazillah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, kewajiban–kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Abu Al-Hudzail menegaskan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika tidak berterima kasih kepadan-Nya, ia akan mendapat siksa .Baik dan jahat, Abdul Jabbar  mengatakan bahwa akal tidak dapat  mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui perincianya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun mengenai hidup di dunia.

V. PENUTUP

Demikian makalah ini kami buat semoga bisa bermanfaat bagi penyusun secara pribadi serta bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. kami sadari bahwa kami masih jauh dari kata kesempurnaan sehingga dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan, sekali lagi kritikan ataupun masukan dari para pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan semuanya






















DAFTAR PUSTAKA :
1. Drs. Supiana,M.Ag. dan M. Karman. M.Ag Materi Pedidikan Agama Islam

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
>